Selasa, 23 Agustus 2016

Perihal Tayammum (Kitab Irsyadul Anam)

=== IRSYADUL ANAM FI TARJAMATI ARKANIL ISLAM ===
(Mufti Betawi Al Habib Usman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Al Alawi Al Husaini)

* Pasal Ke 15 : Perihal  Tayammum *

Tayammum  (bersuci  dengan  debu)  yaitu  jikalau  ketiadaannya  air  atau mendapatkan   penyakit   yang   menjadikan  darurat  (membahayakan)  kalau terkena air,  maka wajib tayammum sebagai pengganti daripada mengambil air wudhu, atau  daripada  mandi wajib (hadash besar)  atau mandi sunnah.

Adapun syaratnya  tayammum adalah :

1. Wajib menggunakan tanah  debu yang  suci.
2. Sesudah (melakukan)  istinja’  (bersuci).
3. Suci  daripada  najis.
4. Sudah  masuk waktu shalat.
5. Sekali  tayammum  hanya  diperbolehkan  untuk  satu  shalat  fardhu  saja adapun  shalat sunnah boleh berkali-kali.

Rukun tayammum adalah sebagai berikut :

1. Memindahkan  tanah  debu  itu  ke  muka  sekali  saja,  dan  kedua  tangannya sekali.
2. Berniat   “sahajaku   mengharuskan   bershalat   fardhu   dengan   ini tayammum”  maka  adalah  niat  ini  wajib  berbarengan  pada  meletakkan kedua  telapak  tangannya  di  atas  debu  itu  dan  jangan  lenyap  niat  ini hingga menyapu muka dengan debu  itu.
3. Menyapu muka sekali.
4. Menyapu  kedua  tangan  hingga  sikunya  sekali  pula.  Tidak  sunnah  dua tiga kali.
5. Tertib, yaitu  antara menyapu  muka dan menyapu kedua  tangannya.

Adapun   sunnahnya   membaca basmalah di permulaan tayammum  dan  jika  telah  selesai  maka sunnah  membaca  do’a seperti sesudahnya  mengambil air wudhu.

Sedangkan  yang  membatalkan  tayammum  yaitu  seperti  tiap-tiap  yang membatalkan  air wudhu.

Wallahu a'lam...

Perihal Tayammum (Kitab Irsyadul Anam)

=== IRSYADUL ANAM FI TARJAMATI ARKANIL ISLAM ===
(Mufti Betawi Al Habib Usman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Al Alawi Al Husaini)

* Pasal Ke 15 : Perihal  Tayammum *

Tayammum  (bersuci  dengan  debu)  yaitu  jikalau  ketiadaannya  air  atau mendapatkan   penyakit   yang   menjadikan  darurat  (membahayakan)  kalau terkena air,  maka wajib tayammum sebagai pengganti daripada mengambil air wudhu, atau  daripada  mandi wajib (hadash besar)  atau mandi sunnah.

Adapun syaratnya  tayammum adalah :

1. Wajib menggunakan tanah  debu yang  suci.
2. Sesudah (melakukan)  istinja’  (bersuci).
3. Suci  daripada  najis.
4. Sudah  masuk waktu shalat.
5. Sekali  tayammum  hanya  diperbolehkan  untuk  satu  shalat  fardhu  saja adapun  shalat sunnah boleh berkali-kali.

Rukun tayammum adalah sebagai berikut :

1. Memindahkan  tanah  debu  itu  ke  muka  sekali  saja,  dan  kedua  tangannya sekali.
2. Berniat   “sahajaku   mengharuskan   bershalat   fardhu   dengan   ini tayammum”  maka  adalah  niat  ini  wajib  berbarengan  pada  meletakkan kedua  telapak  tangannya  di  atas  debu  itu  dan  jangan  lenyap  niat  ini hingga menyapu muka dengan debu  itu.
3. Menyapu muka sekali.
4. Menyapu  kedua  tangan  hingga  sikunya  sekali  pula.  Tidak  sunnah  dua tiga kali.
5. Tertib, yaitu  antara menyapu  muka dan menyapu kedua  tangannya.

Adapun   sunnahnya   membaca basmalah di permulaan tayammum  dan  jika  telah  selesai  maka sunnah  membaca  do’a seperti sesudahnya  mengambil air wudhu.

Sedangkan  yang  membatalkan  tayammum  yaitu  seperti  tiap-tiap  yang membatalkan  air wudhu.

Wallahu a'lam...

Jumat, 27 Mei 2016

IRSYADUL ANAM FI TARJAMATI ARKANIL ISLAM - Yang Membatalkan Wudhu

IRSYADUL ANAM FI TARJAMATI ARKANIL ISLAM

(Mufti Betawi Al Habib Usman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Al Alawi Al Husaini)



Pasal Ke duabelas : Yang Membatalkan Air Wudhu

Yang membatalkan air wudhu 4 perkara, yaitu:
1. Mengeluarkan najis atau angin atau lainnya daripada qubul atau duburnya (kemaluan depan atau belakang).
2. Bersentuhan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan tiada ada dinding (lapisan penghalang) diantara keduanya dan keduanya itu berseru atas digembirahi (dewasa).
3. Bersentuhan akan kemaluan qubul atau dubur dengan telapak tangan.
4. Hilang akalnya karena gila atau ayan atau karena tidur, melainkan tidur yang tetap (dalam posisi) duduk bersila.

Pasal Ke tigabelas : Hukum bagi orang yang Tidak Berwudhu

Apabila batal air wudhunya maka haram hukumnya melakukan shalat, dan haram melakukan tawaf di Ka’bah, dan haram hukumnya memegang Al-Qur’an atau mengangkatnya, melainkan kanak-kanak yang hendak melakukan pengajian.

Pasal Ke empatbelas : Hukum bagi orang yang Hadash Besar

Apabila mendapat hadash besar daripada jima’ (berhubungan seks) atau keluar air mani, maka haram hukumnya yang tersebut itu (pada pasal 13) dan ditambah lagi haram hukumnya membaca Al-Qur’an dengan qasad tilawah (niat membaca) dan haram duduk di Masjid.

Adapun bagi perempuan yang mendapatkan haid atau nifas maka haram hukumnya atas sekalian yang tersebut itu (pasal 13 dan pasal 14) dan ditambah lagi haram hukumnya berjalan di dalam Masjid, dan haram atasnya berpuasa, dan haram melakukan jima’ atau bergurau yakni bercanda (bercumbu) antara pusar sampai lututnya, dan haram hukumnya atas seorang suami menjatuhkan thalaq (perceraian) diwaktu istrinya itu sedang haid, melainkan jika atas permintaan istrinya diwaktu itu.

Kamis, 26 Mei 2016

IRSYADUL ANAM FI TARJAMATI ARKANIL ISLAM - Syarat Air Wudhu & Mandi Hadas

IRSYADUL ANAM FI TARJAMATI ARKANIL ISLAM

(Mufti Betawi Al Habib Usman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Al Alawi Al Husaini)



Pasal Ke sebelas : Syarat Air Wudhu & Mandi Hadas


Syarat Air Wudhu dan Syarat Mandi Hadas yaitu 8 perkara, yaitu :

1. Beragama Islam
2. Tamyiz, yakni sudah bisa olehnya membedakan mana barang yang suci daripada barang yang keji (najis) dan bisa melakukan makan dan minum sendiri.
3. Suci daripada haid dan nifas.
4. Bahwa tiada ada yang mencegah air kepada anggota badan seumpama lilin atau getah atau sisik ikan (atau tato, cat dsb).
5. Mengetahui akan segala fardhu-nya.
6. Jangan meng-i’tiqadkan (berkeyakinan) bahwa sesuatu daripada segala fardhu-nya itu adalah sunnah.
7. Dengan menggunakan air yang suci dan menyucikan.
8. Jangan ada didalam anggota badannya barang yang merubahkan air (baik merubah rupa, warna, rasa, maupun bau)

Adapun jikalau orang yang mengambil air wudhu itu memiliki hadas daim yakni senantiasa keluar air kencing atau darah (pada kemaluan depan maupun belakang), maka ditambah syaratnya yaitu (mengambil air wudhunya) sudah masuk waktu dan segera (melakukan shalatnya).

Rabu, 25 Mei 2016

IRSYADUL ANAM FI TARJAMATI ARKANIL ISLAM - Mandi Hadas

IRSYADUL ANAM FI TARJAMATI ARKANIL ISLAM

(Mufti Betawi Al Habib Usman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Al Alawi Al Husaini)



Pasal Ke sepuluh : Mandi Hadas

Jika mendapat hadash besar daripada jima’ (berhubungan suami istri) atau keluar mani, atau selesai daripada haid (mens) atau nifash (wanita sehabis melahirkan), maka diwajibkan mandi atas sekalian badan dengan dua rukun, yaitu :

1. Niat didalam hati diwaktu permulaan mandi, seumpama berkata dalam hatinya “aku mengangkat hadash besar daripada sekalian badan” atau “aku niat mandi fardhu”.

2. Membasuh sekalian badan.

Adapun sunnah dalam mandi bermula daripada itu mendahulukan membasuh najis yang dibadan dan membasuh segala kotoran yang dibadan.

Sunnah membaca بِسْمِ اللهِ الرّحْمَنِ الرّحِيْمِ di permulaan mandi dan mendahulukan mengambil air wudhu, menghadap kiblat, membasuh badan sebanyak tiga kali, serta membaca do’a setelah selesai daripada mandi yaitu do’a seperti selesai mengambil air wudhu yang tersebut sebelumnya
.

Rabu, 18 Mei 2016

IRSYADUL ANAM FI TARJAMATI ARKANIL ISLAM - Rukun Wudhu

IRSYADUL ANAM FI TARJAMATI ARKANIL ISLAM

(Mufti Betawi Al Habib Usman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Al Alawi Al Husaini)




Pasal Ke sembilan : Rukun Air Wudhu

Perihal rukun air wudhu yaitu 6 (enam) perkara :
1. Niat didalam hati diwaktu membasuh muka, seperti “aku mengambil fardhu air wudhu” atau “aku mengangkat hadash yang kecil”.
2. Membasuh muka.
3. Membasuh kedua tangan sampai sikunya.
4. Menyapu (kulit) kepala dengan air sekalipun sedikit.
5. Membasuh kedua kaki hingga mata kakinya.
6. Tertib, yaitu beraturan membasuh anggota yang tersebut satu persatunya.

Adapun sunnah dalam berwudhu diawali dengan membaca basmalah, bersiwak (bersikat gigi), kumur-kumur, memasukkan air ke hidung, dan sunnah membasuh maupun menyapu semua anggota wudhu dengan basuhan atau sapuan sebanyak tiga kali, mendahulukan yang kanan atas yang kiri, serta menghadap kiblat. Dan sunnah menyapu semua (kulit) kepala seluruhnya dengan air.

Sunnah pula membaca do’a berikut ini jika selesai daripada mengambil air wudhu sambil menengadahkan muka ke atas serta mengangkat kedua tangannya, inilah do’a-nya :

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ الله وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، وَ أَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

ا لَلّهُمّ اجْعَلْنِىْ مِنَ التّوّابِيْنَ، وَاجْعَلْنِىْ مِنَ الْمُتَطَهّرِيْنَ، سُبْحَانَكَ اَللّهُمَ
وَبِحَمْدِكَ، اَشْهَدُاَنْ لَا إِلَهَ اِلّا اَنْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ.


Artinya: Aku ketahui dengan ikrar bahwasanya tiada Tuhan yang disembah hanya Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku ketahui dengan ikrar bahwasanya Nabi Muhammad hamba Allah dan Utusan-Nya. Wahai Tuhanku jadikanlah aku daripada orang yang bertaubat dan jadikanlah aku daripada orang yang bersuci, Mahasuci Engkau wahai Tuhanku dan segala Puji bagi Engkau, aku ketahui dengan ikrar bahwasanya tiada Tuhan yang disembah dengan sebenar-benarnya hanya Engkau, aku mohon ampun kepada Engkau dan aku bertobat kepada Engkau.

FADHILAH NISHFU SYA'BAN

FADHILAH NISHFU SYA'BAN


Al Hafidh Ibn Rojab al Hambali dalam kitab al Lathoif mengatakan, “Kebanyakan ulama Hadits menilai bahwa Hadits-Hadits yang berbicara tentang malam Nishfu Sya’ban masuk kategori Hadits dho’if (lemah), namun Ibnu Hibban menilai sebagaian Hadits itu shohih, dan beliau memasukkannya dalam kitab shohihnya.”

Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab Addurrul Mandhud mengatakan, “Para ulama Hadits, ulama Fiqh dan ulama-ulama lainnya, sebagaimana juga dikatakan oleh Imam Nawawi, bersepakat terhadap diperbolehkannya menggunakan Hadits dho’if untuk keutamaan amal (fadho’ilul amal), bukan untuk menentukan hukum, selama Hadits-Hadits itu tidak terlalu dho’if (sangat lemah).” 
Jadi, meski Hadits-Hadits yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebut dho’if (lemah), tapi tetap boleh kita jadikan dasar untuk menghidupkan amalam di malam Nishfu Sya’ban. 

Kebanyakan ulama yang tidak sepakat tentang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban itu karena mereka menganggap serangkaian ibadah pada malam tersebut itu adalah bid’ah, tidak ada tuntunan dari Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pengertian bid’ah secara umum menurut syara’ adalah sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah. Jika demikian secara umum bid’ah itu adalah sesuatu yang tercela (bid’ah sayyi’ah madzmumah). Namun ungkapan bid’ah itu terkadang diartikan untuk menunjuk sesuatu yang baru dan terjadi setelah Rasulullah SAW wafat yang terkandung pada persoalan yang umum yang secara syar’i dikategorikan baik dan terpuji (hasanah mamduhah).

Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulumiddin Bab Etika Makan mengatakan, “Tidak semua hal yang baru datang setelah Nabi Muhammad SAW itu dilarang. Tetapi yang dilarang adalah memperbaharui sesuatu setelah Nabi (bid’ah) yang bertentangan dengan sunnah.” Bahkan menurut beliau, memperbaharui sesuatu setelah Rasulullah (bid’ah) itu terkadang wajib dalam kondisi tertentu yang memang telah berubah latar belakangnya.”

Imam Al Hafidh Ibn Hajjar berkata dalam Fathul Barri, “Sesungguhnya bid’ah itu jika dianggap baik menurut syara’ maka ia adalah bid’ah terpuji (mustahsanah), namun bila oleh syara’ dikategorikan tercela maka ia adalah bid’ah yang tercela (mustaqbahah). Bahkan menurut beliau dan juga menurut Imam Qarafi dan Imam Izzuddin ibn Abdis Salam bahwa bid’ah itu bisa bercabang menjadi lima hukum.

Syech Ibnu Taimiyah berkata, “Beberapa Hadits dan atsar telah diriwayatkan tentang keutamaan malam Nisyfu Sya’ban, bahwa sekelompok ulama salaf telah melakukan sholat pada malam tersebut. Jadi jika ada seseorang yang melakukan sholat pada malam itu dengan sendirian, maka mereka berarti mengikuti apa yang dilakukan oleh ulama-ulama salaf dulu, dan tentunya hal ini ada hujjah dan dasarnya. Adapun yang melakukan sholat pada malam tersebut secara jamaah itu berdasar pada kaidah ammah yaitu berkumpul untuk melakukan ketaatan dan ibadah.

Walhasil, sesungguhnya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan serangkaian ibadah itu hukumnya sunnah (mustahab) dengan berpedoman pada Hadits-Hadits di atas. Adapun ragam ibadah pada malam itu dapat berupa sholat yang tidak ditentukan jumlah rakaatnya secara terperinci, membaca Al Quran, dzikir, berdo’a, membaca tasbih, membaca sholawat Nabi (secara sendirian atau berjamaah), membaca atau mendengarkan Hadits, dan lain-lain.


TUNTUNAN NABI DI MALAM NISHFU SYA'BAN.

Rasulullah SAW telah memerintahkan untuk memperhatikan malam Nishfu Sya’ban, dan bobot berkahnya beramal sholeh pada malam itu diceritakan oleh Sayyidina Ali r.a., Rasulullah SAW bersabda : “Jika tiba malam Nishfu Sya’ban, maka bersholatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya karena sesungguhnya Allah SWT menurunkan rahmatNya pada malam itu ke langit dunia, yaitu mulai dari terbenamnya matahari. Lalu Dia berfirman, ‘Adakah orang yang meminta ampun, maka akan Aku ampuni? Adakah orang meminta rizki, maka akan Aku beri rizki? Adakah orang yang tertimpa musibah, maka akan Aku selamatkan? Adakah begini atau begitu? Sampai terbitlah fajar.’” (HR. Ibnu Majah)

Malam Nishfu Sya’ban atau bahkan seluruh bulan Sya’ban sekalipun adalah saat yang tepat bagi seorang muslim untuk sesegera mungkin melakukan kebaikan. Malam itu adalah saat yang utama dan penuh berkah, maka selayaknya seorang muslim memperbanyak aneka ragam amal kebaikan. Doa adalah pembuka kelapangan dan kunci keberhasilan, maka sungguh tepat bila malam itu umat Islam menyibukkan dirinya dengan berdoa kepada Allah SWT. Nabi Muhammad SAW mengatakan, “Doa adalah senjatanya seorang mukmin, tiangnya agama dan cahayanya langit dan bumi.” (HR. Hakim).

Nabi Muhammad SAW juga mengatakan, “Seorang muslim yang berdoa -selama tidak berupa sesuatu yang berdosa dan memutus famili-, niscaya Allah SWT menganugerahkan salah satu dari ketiga hal, pertama, Allah akan mengabulkan doanya di dunia. Kedua, Allah baru akan mengabulkan doanya di akhirat kelak. Ketiga, Allah akan menghindarkannya dari kejelekan lain yang serupa dengan isi doanya.” (HR. Ahmad dan Barraz).

Tidak ada tuntunan langsung dari Rasulullah SAW tentang doa yang khusus dibaca pada malam Nishfu Sya’ban. Begitu pula tidak ada petunjuk tentang jumlah bilangan sholat pada malam itu. Siapa yang membaca Al Quran, berdoa, bersedekah dan beribadah yang lain sesuai dengan kemampuannya, maka dia termasuk orang yang telah menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan ia akan mendapatkan pahala sebagai balasannya.

Adapun kebiasaan yang berlaku di masyarakat, yaitu membaca Surah Yasin 3 (tiga) kali, dengan berbagai tujuan, yang pertama dengan tujuan memperoleh umur panjang dan diberi pertolongan dapat selalu taat kepada Allah SWT. Kedua, bertujuan mendapat perlindungan dari mara bahaya dan memperoleh keluasaan rikzi. Dan ketiga, memperoleh khusnul khatimah (mati dalam keadaan iman), itu juga tidak ada yang melarang, meskipun ada beberapa kelompok yang memandang hal ini sebagai langkah yang salah dan batil. 

Dalam hal ini yang patut mendapat perhatian kita adalah beredarnya tuntunan-tuntunan Nabi SAW tentang sholat di malam Nishfu sya’ban yang sejatinya semua itu tidak berasal dari beliau. Tidak berdasar dan bohong belaka. Salah satunya adalah sebuah riwayat dari Sayyidina Ali r.a., “Bahwa saya melihat Rasulullah SAW pada malam Nishfu Sya’ban melakukan sholat 14 (empat belas) rakaat, setelahnya membaca Surat Al Fatihah (14 x), Surah Al Ikhlas (14 x), Surah Al Falaq (14 x), Surah Annas (14 x), ayat Kursi (1 x), dan satu ayat terkhir Surat At Taubah (1 x). 
Setelahnya saya bertanya kepada Baginda Nabi SAW tentang apa yang dikerjakannya, Beliau menjawab, “Barang siapa yang melakukan apa yang telah kamu saksikan tadi, maka dia akan mendapatkan pahala 20 kali haji mabrur, puasa 20 tahun, dan jika pada saat itu dia berpuasa, maka ia seperti berpuasa dua tahun, satu tahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Dan masih banyak lagi Hadits-Hadits palsu lainnya yang beredar di tengah-tengah kaum muslimin. 


(Disarikan dari “Madza fi Sya’ban”, karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki, Muhadditsul Haromain)